Sunrise in Bromo

Bismillah, postingan pertama di bulan Februari nih. 

Kali ini saya mau memposting cerpen karya saya hampir dua tahun lalu. Saat itu, beberapa bulan setelah mengikuti workshop writerpreneur yang diselenggarakan oleh BEKRAF di Madiun. 


Cerpen ini dimuat dalam buku antologi bersama alumni workshop yang sama. Yang baru launching dalam Bookfair di JCC September 2019 lalu. 


Proses pengumpulan naskah dan penerbitan buku ini lumayan panjang dan berliku. Ada sesuatu hal yang menjadi kendala dan tidak bisa dijelaskan disini. 


Saya mengirim dua naskah cerpen untuk proyek buku ini. Dan ini adalah cerpen pertama saya. Tentu saja masih banyak kekurangan disana-sini. 


Untuk itulah saya mengepost disini, agar pembaca sekalian berkenan memberikan krisan yang membangun. Demi perbaikan ke depannya. 


Meskipun saya belum tahu apakah akan berkarya di dunia fiksi lagi karena saya merasa dunia saya bukan disitu. Padahal saya suka banget baca cerita fiksi, loh. Namun dalam hal  menulis, saya lebih suka menulis nonfiksi. 




Sunrise In Bromo 

“Gara-gara Lo, nih, Daf! Kita jadi gak bisa dapetin foto yang cakep nanti,” Alesha bersuara ketus.

“Maaf, Al. Gue kan gak sengaja. Lagian seinget gue semalem tuh udah gue masukin ke dalam tas, kok, kameranya,” Dafina berusaha membela diri. Dia kesal kenapa juga Alesha si teliti itu harus mengabsen barang bawaan mereka ketika masih di pesawat. Alhasil begini nih jadinya, baru aja pesawat Air Asia yang mereka tumpangi lepas landas, Alesha udah sewot gara-gara kameranya ketinggalan.


“Kalo Lo udah masukin tuh kamera ke dalam tas, ya gak bakal ketinggalan, lah. Nyatanya?”


“Ya, maaf, Al.” Dafina memegang lengan Alesha, berusaha meminta maaf darinya. “Oh iya, Gue baru inget. Semalem waktu Elo udah tidur Gue sempet ngeluarin kamera buat ganti baterai, trus kameranya Gue taruh di samping tv,” Dafina menggaruk kepalanya yang tidak gatal, “Gue lupa masukin lagi kameranya ke tas sebelum berangkat. Maafin ya, Al. Gue salah.”


“Ah, Elo sih, Daf. Jadi rusak nih mood Gue.”


“Udahlah, Al. Nanti kita foto-fotonya pake kamera hp aja. Punya Lo kan bagus, tuh. Bening juga kok hasilnya. Gak kalah kan ama kamera gue.”


“Iya, tapi kan resolusinya lebih bagus kalo pake kamera, Daf!” Alesha mendengus.


Dafina mendekatkan ujung bibirnya ke telinga Al, “Al, udahan donk marahnya. Ghak enak tuh ama penumpang lain. Berisik.”

Alesha tak menyahut. Hening.


***

Dua gadis dengan perawakan sedang terlihat celingukan seperti sedang mencari seseorang. Bandara Juanda sepagi ini sudah ramai oleh pengunjung, baik yang baru datang maupun yang akan berangkat ke luar kota. Terlihat di berbagai sudut orang-orang dengan setengah berlari berlalu-lalang memburu waktu. 


Tak jauh dari tempat mereka berdiri, Nampak seorang pria jangkung dengan perawakan gagah mengangkat tangannya ke atas, menunjukkan kertas karton berukuran cukup besar bertuliskan; ALESHA-DAFINA. TRAVEL AGENT X. Aha, itu dia yang mereka cari. Bergegas mereka menghampiri pria itu.


“Permisi, Mbak. Dengan Mbak Alesha dan Mbak Dafina?” sapa pria itu ramah.


Dafina menjawab sembari mengulurkan tangan, “Iya, benar, Mas. Kenalin, saya Dafina. Ini teman saya, Alesha.” Dafina menyunggingkan senyum termanisnya.


“Halo, Mas. Saya Alesha. Dengan….Mas?”


“Saya Rio. Dari travel X. Mari, Mbak Alesha dan Mbak Dafina. Silakan masuk ke mobil. Saya bantu bawakan barang-barangnya.”


“Oke, makasih Mas Rio.” Seru mereka berdua serempak.


Kedua gadis itu tengah menikmati perjalanan mereka menuju Probolinggo. Saking bersemangatnya hingga tak ada rasa kantuk saat ini. Dafina mengeluarkan earphone dan gawainya. Menikmati alunan musik yang didengarnya dengan menggoyangkan kepalanya. Sesekali bibir mungilnya ikut bernyanyi dengan suara kecil. 


Sementara Alesha, memilih untuk membaca buku, melanjutkan novel yang dibacanya semalam. Sesekali ia memandangi view indah yang mereka lalui sepanjang perjalanan.


Empat jam berlalu, sampailah mereka di Kawasan Sungai Pekalen, di desa Ranu Gedang Kecamatan Tiris Kabupaten Probolinggo. Begitu sampai di lokasi, Alesha dan Dafina beristirahat sejenak melemaskan otot tubuh mereka. Matahari sudah mulai meninggi namun udara tidak terasa panas, bahkan yang dirasakan adalah kesejukan.


“Daf, Elo ngerasa laper, gak?”


Dafina merasakan perutnya yang mulai bernyanyi keroncong, “Iya, Al. Kita ‘kan belum makan dari pagi. Pesen makan dulu aja, yuk!” Ujarnya sembari mencomot pisang rebus hangat yang disediakan.


“Iya, nih. Eh, tapi coba deh Lo minum ini. Hangat, sejuk di tenggorokan. Enak banget, deh.” Alesha kembali menghirup minumannya.


Rio menimpali, “Minuman itu Namanya Poka, Mbak. Itu minuman khas di Songa Adventure ini. Terbuat dari teh yang dicampur jahe, keningar dan kayu manis.”


“Oh, pantes. Enak, Mas. Hangat.”


“Mana, sini. Gue mau coba.” Buru-buru Dafina meraih gelasnya lalu menyeruputnya. “Iya, lho. Enak.”


“Silakan, mbak kalau mau makan dulu. Saya mau koordinasi dengan pemandu disini. Satu jam lagi kita mulai rafting-nya, ya.”


“Oke.” Alesha dan Dafina menjawab serempak.



***

“Jadi gini, Mbak. Karena Mbak Alesha dan Mbak Dafina rombongannya hanya berdua, jadi saat rafting digabungin dengan rombongan lain yang juga berdua. Gapapa, ‘kan, Mbak?” Pemandu rafting bertanya saat briefing.


“Gapapa, Mas. Oke aja, kok.”


“Baik, kalau begitu. Mari kita menuju start point. Sudah siap semua, ‘kan?”


“Siap!”


 “Daf! Lo lihat tuh! View disini tuh bagus banget! Sayang banget kita gak bawa kamera.”


“Ya udahlah, Al. Kita nikmati aja liburan kita disini, sepuasnya.” Dafina nyengir, dalam hatinya pun menyayangkan kamera yang tertinggal di rumah.


Alesha, Dafina dan dua peserta lain sudah siap di perahu karet. Pemandu pun siap di posisi belakang. Masing-masing memegang satu dayung. Teknik mendayung sudah diajarkan tadi ketika briefing. Dan setelah berdoa menurut keyakinan masing-masing, meluncurlah mereka menyusuri sungan Pekalen.


Rafting a.k.a arung jeram di sungai Pekalen ini ada beberapa pilihan kelas. Alesha dan Dafina memilih kelas tiga dengan jalur Pekalen Atas. Sungai dengan lebar 5-20 meter dan kedalaman air antara 1-3 meter ini memiliki tiga jalur. Yaitu jalur pekalen Atas kurang lebih berjarak 12 km, Pekalen Tengah kurang lebih 7 km, dan pakelan Bawah 9 km. Kebanyakan pengunjung memilih rafting di jalur Pekalen Atas, karena menawarkan keindahan panoramanya yang sangat memukau.



source: songarafting.wordpress.com
Rafting di Sungai Pekalen Atas, Alesha dan Dafina disuguhi pesona alam yang sangat indah. Selain berteman dengan hijaunya pemandangan yang nampak, perjalanan makin seru dengan banyaknya jeram yang dilalui dan air terjun yang dilewati. Kurang lebih ada tujuh air terjun yang mereka jumpai di jalur ini. Salah satunya, air terjun kelelawar dengan ciri khas jajaran air terjun yang amat cantik, suara dan juga aroma kotoran kelelawar. Tak kurang dari 50 jeram yang dilalui di jalur ini. Lengkap dengan namanya yaitu, Welcome, Batu Jenggot, Pandawa, Rajawali, Xtravaganza, dan lain-lain. Bahkan ada yang bernama jeram Inul karena setiap peserta harus bergoyang bak Inul saat melewatinya.

***


“Gila! Seru abis, Al! Keren!!” seru Dafina yang kesekian kalinya sambil membuka kaca mobil. Ia ingin merasakan hawa dingin udara disini. Sejak selesai rafting, Dafina tidak berhenti mengoceh tentang keseruan mereka rafting hari itu. 


“Iya. Gokil banget sampe kita hampir gak punya dokumentasi. Untung aja dari Songa Adventurenya nyediain kamera di beberapa sudut jadi kita bisa nebus foto-foto kita dari mereka. Kalau gak ‘kan kita gak punya foto sama sekali, Daf.”


“Iya, ya. Hehe. Nah makanya tuh, Al. Lo tenang aja lagi. Nanti waktu sunrise di Bromo kita foto pake kamera hp Lo aja.”


“Iya, Daf. Eh, tapi Gue paling seneng tuh pas kita dihujani air yang terjun dari atas tebing saat kita melintas di bawah air terjun. Segerr banget! Kalau Lo gimana?”


“Gue juga suka banget, Al. Rasanya pengen ngulangin lagi, deh. Next holiday kita kesana lagi, yuk!”


“Boleh. Tapi jangan kesitu lagi, ah. Kita rafting di tempat lain aja. Nanti kita browsing lagi, deh, tempat yang recommended buat rafting.”


“Oke. Hmm puas banget Gue 3,5 jam teriak. Huh, plong rasanya” gumam Dafina 


“Mas, ini kita langsung ke hotel, ‘kan?” tanya Alesha pada Rio, melihat hari sudah mulai gelap.


“Iya, Mbak. Setelah ini kita langsung ke hotel di daerah Cemoro Lawang. Free time. Besok jam tiga pagi harus sudah siap, kita jalan jam 03.15 dini hari ke Penanjakan 1, mbak.” Jawab Rio.


“Oke, Mas. Makasih, ya.”


“Kalau mas Rio, menginap di hotel juga?” tanya Dafina.


‘Ngapain Dafina nanya-nanya kayak gitu?’ batin Alesha. Namun ia diam saja.


“Nggak, Mbak. Saya pulang ke rumah. Gak jauh kok dari situ.”


“Ohh…”


Sesampainya di hotel, setelah mengantarkan Alesha dan Dafina check-in Rio pamit pulang.


“Daf, ngapain Lo nanya-nanya si Rio nginep disini apa nggak? Lo naksir?”


“Apaan sih, Lo! Gue nanya doank keles,” Dafina menjawab ketus


“Yee ni anak. Gitu doank ngambek.”


***


 Alesha terbangun ketika ketukan di pintu kamarnya sudah berubah menjadi gedoran yang cukup keras. Ia terkejut, terbelalak melihat jam dinding. Pukul 03.25. Wah, telat!


“Daf! Dafina! Bangun! Kita udah telat nih. Nanti gak kebagian sunrise-nya lho.” Alesha menggoyangkan tubuh sahabatnya itu dengan keras. Sementara yang dibangunkan hanya mengucek-ngucek mata.


Alesha membuka pintu kamar hotel. Tampak olehnya Rio yang sudah rapi sedang berdiri di depan pintu.


“Duh, maaf, Mas. Sudah lama, ya, disini? Sebentar ya, Mas. Kami siap-siap dulu.” Tergugup Alesha meminta maaf karena terlambat bangun.


“Iya, gapapa, Mbak. Saya tunggu di lobi, ya. Lima menit. Cukup, kan? Karena kalau kesiangan nanti gak dapet moment sunrise-nya, Mbak.”


“Iya, Mas. Lima menit. Makasih.”


Alesha bergegas menutup pintu dan terpekik karena Dafina belum juga bangun. Buru-buru ia menarik tubuh sahabatnya itu dan menyeretnya ke kamar mandi.


“Ih, apaan sih, Al. Alus dikit, napa. Kasar banget sih!” Dafina berontak.


“Cepetan, Daf. Kita Cuma punya waktu lima menit buat siap-siap. Udah telat banget nih. Udah setengah empat. Ayoo buruan!” Alesha berseru sembari menggosok giginya yang dilanjutkan dengan mencuci mukanya.


“Iya, bawel ah, Lo.”


Alesha buru-buru menutup pintu kamarnya dan setengah berlari menuju lift. Dia tampak amat gelisah sementara Dafina terlihat lebih santai.


“Lo kenapa sih, Al. Santai aja kali. Gak usah hectic gitu. Panikan amat jadi orang.” Dafina bergumam begitu pintu lift tertutup.


“Ya, elah, Daf! Elo sih di kamar mandinya lama. Kita telat banget nih. Ini udah setengah empat lewat 10 menit, tau!”


“Santai, kali, Al. Matahari terbit itu kan jam 5. Sekarang masih setengah 4, ‘kan? Masih lama, kok.”


“Ya, ‘kan perjalanannya gimana? Itu juga musti Elo perhitungkan, kali.”


“Iya, iya. Sorry. Ya wajarlah, Al. kita ‘kan capek habis perjalanan seharian kemarin, habis rafting juga. Wajar donk kita susah bangun pagi.”


“Ya udahlah, tuh mas Rio udah nungguin.” Alesha menunjuk mobil yang menunggu di depan pintu keluar sembari berjalan keluar dari lift.


“Maaf ya, Mas. Kita kelamaan.” Ujar Alesha kepada Rio yang telah lama menunggu.


“Gapapa, Mbak. Kita jalan sekarang, ya.”


Mereka menaiki mobil jeep menyusuri jalan dengan pemandangan lereng gunung bromo yang indah. Lokasi Penanjakan 1 masih dalam lingkungan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TN-BTS) Jawa Timur. Penanjakan 1 yang merupakan spot sunrise Bromo ini berada di ketinggian 2.770 di atas permukaan laut. Ini merupakan spot utama untuk menikmati keindahan  sunrise.


Setelah sampai di parkiran jeep, Alesha dan Dafina turun. Mereka berjalan kaki bersama wisatawan lain menuju tangga ke penanjakan 1. Setelah sekitar lima belas menit menanjak, sampailah mereka di Penanjakan 1. Semburat oranye mulai terlihat sedikit demi sedikit. Aah, indahnya.


“Daf, foto disitu, yuk! Cakep banget tuh, background-nya Gunung Batok, Gunung Bromo sama Gunung Semeru.”


“Yuk!”

source: katalogwisata.com
Cekrek.cekrek. Mereka berdua benar-benar menikmati keindahan ciptaan Tuhan yang satu ini. Hawa dingin yang menusuk tulang seakan tiada lagi terasa. Setelah cukup puas berfoto, mereka turun ke parkiran jeep dan melanjutkan perjalanan ke Gunung Bromo. 

Jeep berjalan membelah lautan pasir Kaldera. Ada juga yang menyebut dengan Pasir Berbisik. Indah sekali. Seperti di gurun pasir. Kedua dara itu sempat turun di lautan pasir untuk berswafoto disana. Lanjut menaiki 250-an anak tangga untuk menuju puncak Gunung Bromo.


“Al! cobain naik kuda, yuk.” Seru Dafina.


“Oke. Hayuk!”


Mereka menunggang kuda menuju anak tangga di Gunung Bromo. Dafina sempat hampir terjatuh karena kurang keseimbangan. 


Setelah kurang lebih 10 menit mereka menaiki anak tangga, sampailah mereka di puncak Bromo. Wangi belerang tercium sangat kuat. Hamparan warna biru terlihat di kejauhan kawah Bromo. Alangkah indahnya.


“Al, hati-hati.” Seru Dafina menarik tangan Alesha yang hampir terpeleset di bibir kawah.


“Iya, Daf. Duh, kaget Gue.”


“Untung Lo gak apa-apa. Ya udah yuk, kita turun.” Ajak Dafina.


“Sebentar lagi, deh. Gue belum puas.”


Alesha yang cinta pegunungan amat menikmati trip mereka kali ini. Dihirupnya dalam-dalam udara Gunung Bromo ini untuk lebih merasakan sensasinya. Dipandanginya secara mendalam hamparan pesona yang tak ada saingannya ini. Begitu menakjubkan.



Dear, Tuhan
Hijaunya hamparan hutan dan pepohonan di bawah sana begitu kerdil
Tak sebanding dengan agungnya dzat-Mu
Dear, Tuhan
Birunya hamparan belerang di bawah sana begitu luas
Tetap tak seluas kuasa-Mu
Dear, Tuhan
Kuningnya hamparan pasir di lautan kaldera sungguh memukau, berbisik
Senandungkan dzikir pada-Mu

Dear, Tuhan
Seluas bumi ini
Begitu kerdil di hadapan-Mu
Ampuni kami,
Yang masih saja congkak
Ampuni kami,
Yang masih saja lalai

Rahmat-Mu, tiada terkira
Inayah-Mu, tiada terbendung
Maghfirah-Mu, tiada terduga
Kumohon itu.



Alesha Larasati
 Puncak Bromo, 17 September 2017


source: wisatagunungbromo.com

Alesha duduk di tepi kawah sembari menuliskan sebuah puisi di buku notes-nya. Kembali menghirup nafas dalam-dalam, dihembuskan perlahan-lahan. Kemudian ia bangkit menghampiri Dafina yang telah menunggunya di samping tangga. Mereka tersenyum lega dan bahagia, menuruni anak tangga.


***


Silakan tuliskan penilaian teman-teman mengenai cerpen ini, ya. Diterima dengan tangan terbuka. Terima kasih




12 komentar:

  1. Bagus Mbak ceritanya, runut. Saya juga penggemar cerita fiksi. Mungkin hanya ditambah sedikit konflik biar lebih seru kali ya Mbak. Keren banget nih, setting tempatnya detail.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya nih mbak, memang saya juga ngerasa konfliknya kurang. Sebenarnya masih bisa digali lagi ya mbak... Thanks mba masukannya. Saya masih harus banyak belajar lagi nih

      Hapus
  2. Kesannya kayak belum selesai sih cerpennya. Wah...aku kurang bisa menilai cerpen/ fiksi. Maafkan...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, iya kah bund? Terkesan seperti belum selesai ya??? Baiklah trims bunda

      Hapus
  3. Detail ceritanya bagus mba, dulu saya juga pernah ke bromo pakai jasa opentrip. Penggambaran urutan perjalanannya mirip banget dengan yang saya alami, detail detail tempatnya juga bisa tergambar jelas lewat cerita. Cuma kurang konflik saja Mba, kalau ada pasti makin seru ceritanya.

    BalasHapus
  4. Wah, ternyata dibalik pemandangan sunrisenya ada drama ya mba. Hihihi. Tapi terbayarkan sama keindahan pemandangan. Syukurlah

    BalasHapus
  5. Seperti cerita perjalanan Mbak. Jadi berasa non fiksi. Afwan. Hehehe

    BalasHapus
  6. Aiiiiiihhh, jadi pengen nyobain teriak 3,5 jam...eh, main rafting maksudnya, haha.
    Bromo memang banyak tempat yang asyik ya buat liburan, semoga aja ada rezeki bisa kesana.

    BalasHapus
  7. Hai mba Qoty.. salut utk usahanya belajar nulis banyak genre ya. Fiksi itu sesuatu yg emang gak mudah. Saya aja gak jago. Tapi maaf kalo boleh komen soal cerpen ini sptnya saya kok ngga nemu inti ceritanya apa gitu. dari yg awalnya lupa bawa kamera tapi di endingnya kurang nyambung gitu. Tadinya saya pikir bakalan ada cerita apa gt sama si pemàndunya tapi kk nggak ada juga. Atau saya yg hrs baca ulang kali ya hehehe. Eniwe... mungkin juga bisa baca-baca lagi soal teknik showing mba,pasti bakalan tambah keren tulisannya. Semangaaat!

    BalasHapus
  8. Bagus mbak, saya jadi kayak belajar tentang wisata di sana Saya awalnya kira ini semacam cerita dokumenter. Kadang2 saya merasa menjadi orang pertama, padahal orang ke tiga. Dan tadinya saya kira belum selesai cerpennya karena agak datar di akhir, saya kira ada terusan konflik akibat dari kamera ketinggalan itu. Hehehe..

    BalasHapus
  9. Kalau menurut aku belum kerasa gregetnya mbak, hehe. Tapi aku pun belum pandai sih kalau bikin cerita fiksi ini. Tapi alurnya udah enak aku baca. itu aja, maaf ya mbaaa

    BalasHapus
  10. Wah, Mbak Qoty nulis fiksi juga. Ajib tenan! Ini aku mau kasih sedikit kesan aja ya, sebagai pembaca, bukan ahli. Aku merasa ngganjel aja di akhir. Kayak belum plong sama ceritanya. Atau mungkin memang alurnya dibuat begitu ya?

    BalasHapus