Tampilkan postingan dengan label Cerpen anak. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen anak. Tampilkan semua postingan

Keke Yang Cemburu

 source: kompas


Keke, seekor kucing yang lucu sedang berjalan-jalan dengan ibunya di tepi hutan. Mereka menikmati sejuknya udara sore dan indahnya pemandangan sekitar. Pohon-pohon berdiri tinggi menjulang, daun-daunnya bergoyang diterpa angin. Beberapa pohon rambutan tampak berbunga bahkan ada yang sudah berbuah.

Ketika matahari akan tenggelam, Keke seperti mendengar sesuatu. Keke segera mencari darimana suara itu berasal. Suara apakah itu? Oh, ternyata suara telur yang akan menetas.

“Ibu, lihat. Ada telur akan menetas!”, seru Keke. Ibu pun menghampiri Keke, dan memperhatikan telur yang sudah mulai retak tersebut.

Krak. Telur pun pecah. Menyembullah sebuah kepala, “cuit…cuit…ciitt….”

Aha! Ternyata itu seekor anak ayam. Anak ayam itu langsung mendekati ibu Keke dan menempelkan badannya kepada ibu Keke. Sepertinya dia mengira ibu Keke adalah ibunya.

Lalu Keke dan ibunya melanjutkan perjalanan mereka dan anak ayam itu pun mengikuti sampai ke rumah.


Keesokan harinya, seperti biasa Keke menunggu ibunya yang sedang mencari makanan untuk mereka. Keke menunggu sambil bermain dengan anak ayam yang mereka temukan kemarin. Keke senang sekarang ada teman untuk bermain karena biasanya dia ikut ibunya kemanapun perginya jika tidak ingin sendirian.

Namun Keke merasa kesal, karena ibunya lama tak kunjung datang. Biasanya ketika mereka pergi mencari makan, tidak membutuhkan waktu lama karena mudahnya mendapatkan makanan di sekitar tempat tinggal mereka.

Beberapa saat kemudian, tampak di kejauhan ibu Keke sedang berjalan mendekat. “Yeay! Ibu datang”, Keke melonjak girang. Anak ayam pun tak ketinggalan ikut bersorak.

“Ibu lama sekali perginya, susah ya bu mencari makanannya, biasanya ibu pergi hanya sebentar.” Protes Keke. “Maafkan ibu ya Nak, ibu agak lama karena harus mencari biji-bijian untuk anak ayam yang menggemaskan ini.” Ucap ibu menjelaskan.

Begitulah selama beberapa waktu, anak ayam itu tinggal bersama dengan Keke dan ibunya. Mereka makan, tidur dan bermain bersama. Dan jalan-jalan pun bersama.


Hingga suatu hari, saat anak ayam itu bermain sendiri di luar, Keke mendekati ibunya. “Bu, jujur Keke gak suka anak ayam itu disini. Meski Keke senang karena ada teman bermain, tapi Keke kesal bu. Sejak ada dia, ibu selalu pergi lama untuk mencari makanan. Dia juga sering merebut mainan Keke. Selain itu, Keke jadi gak bisa tidur berdua dengan ibu karena harus menemani dia tidur di kamar. Lagian nih ya bu, dia kan anak ayam. Bukan kucing seperti kita. Dia juga bukan anak ibu kan.” Keke cemberut.

Ibu mengusap kepala Keke, “Keke sayang, Ibu mengerti perasaan Keke. Tapi, anak ayam itu kan sendiri, dia terpisah jauh dari ibu dan saudaranya. Kita pun tidak tahu ibunya ada dimana. Dia pasti sedih. Karena itulah kita harus menyayangi dia, menghibur dan menemani dia agar tidak sedih. Coba bayangkan kalau itu terjadi pada Keke, Keke pasti sedih kan?”

“Iya Bu. Keke gak mau pisah dari ibu. Keke sayang ibu.” Keke menangis memeluk ibu.

“Jadi?” tanya ibu. “Keke janji akan sayang sama anak ayam itu seperti sayangnya Keke ke adik Keke sendiri. Keke janji tidak akan membedakan lagi Bu. Meskipun dia tidak sama dengan kita.” Janji Keke dengan tulus.


Sejak hari itu, Keke jadi makin sayang dengan anak ayam itu. Mereka selalu bermain bersama. Keke pun dengan sukarela membagi mainannya. Anak ayam pun tumbuh besar dan bahagia bersama mereka. Hingga suatu hari, anak ayam itu bertemu dengan ibunya di pinggiran hutan dan ikut pergi. Kekepun berpisah dengan adik ayamnya.



Pesan Moral

Hendaknya kita menyayangi sesama makhluk ciptaan Allah tanpa membeda-bedakan. Dan tetap menyayangi saudara kita meskipun bukan saudara kandung, rela berbagi untuk mendapatkan kebahagiaan.


 





cernak dayung
source: pixabay.com



“Bunda, lihat! Disitu ada sepeda, tapi gak bisa dinaikin ya bund?” Tanya Nadine sambil menunjuk sebuah sepeda tua yang sudah rusak di bagian ban dan stang nya.

“Iya sayang, main yang lain aja ya. Tuh lihat, di sebelah sana ada sawah.” Sahut bunda berusaha mengalihkan perhatian Nadine.

“Mana bund? Itu ya? Oh itu namanya sawah.” Nadine manggut-manggut kagum.

“Iya Nadine, yang tumbuh di sawah itu namanya padi. Padi inilah yang nantinya menjadi beras terus dimasak oleh bunda, jadi deh nasi yang dimakan Nadine.” Terang bunda.

“Siapa yang menanamnya bund?” Seperti biasa, Nadine selalu ingin tahu lebih banyak.

“Yang menanam padi adalah petani,sayang. Para petani menanam padi, menjaga dan merawatnya sampai waktu panen tiba.

“Kalo panen itu apa bunda?”

“Panen itu, ketika biji padi-padinya telah menguning maka semua dipanen atau diambil untuk kemudian diolah lagi menjadi beras lalu dijual.” Bunda menjelaskan dengan sabar.

“Oh begitu..”

“Bunda, Nadine mau naik kesitu!” serunya sambil menunjuk bangunan sebuah rumah adat dengan tangga yang tinggi. Bangunan itu nampak kurang terawat, beberapa bagian bangunan terlihat sudah aus dan berlubang.

“Hmm..kita jalan ke sebelah situ yuk! Sepertinya banyak permainan yang seru deh” Ajak bunda berusaha mengalihkan perhatian Nadine.

“Ayo!” Nadine semangat menuruni anak tangga ke bagian bawah tempat itu.

Saat ini Nadine dan adiknya, Aldi. Bersama bunda, ayah, Om Irwan dan tante Irma sedang berkunjung ke sebuah tempat wisata outbond. Disini udaranya sejuk, rindang karena banyak pepohonan.

Tempat ini terbagi dalam dua bagian. Di bagian atas ada bangunan-bangunan tua yang unik, namun nampak kurang terawat. Perpustakaan mini dan panggung pertunjukkan kecil dihiasi beberapa karya lukisan menjadi pembuka kawasan itu. Dilengkapi pula dengan café, lapangan yang cukup luas dan playground sederhana. Sedangkan di bagian bawah adalah arena outbound.

Banyak hal yang bisa dilatih di arena outbond ini. Melatih kekuatan otot dengan panjat tebing, menjaga keseimbangan dengan berjalan di atas satu tali, melewati sungai menggunakan jaring, flying fox, dan menyusuri danau dengan perahu karet berdayung. Tak ketinggalan, kita bisa ikut menanam padi di sawah pula. Asiik.

Di bawah, tante Irma mengajak Nadine naik perahu karet. Nadine tentu senang sekali. Namun sayang, dayungnya hanya ada satu.

“Maaf neng, perahunya tinggal satu karena yang lain sedang dipakai. Tapi perahu yang ini dayungnya hanya ada satu. Harusnya ada dua namun yang satunya hilang entah kemana. Saya sudah berusaha mencarinya tapi belum ketemu.” Abang penjaga menjelaskan kepada tante Irma dan Nadine.

“Yah, Nadine, kita gak bisa naik perahunya.” Ucap tante Irma lirih.

“Kita kan bisa pakai satu dayung aja, tante. Om Irwan yang mendayung di depan. Bisa kan Om?” Nadine yang tak kehabisan ide memastikan kepada Om-nya.

Om Irwan seketika mengiyakan, “Bisa kok, Nadine. Ayo kita naik.”

“Yeay!” Nadine bersorak gembira.

Sementara mereka naik perahu, Ayah melatih keseimbangan dengan berjalan di atas satu tali, dan mencoba memanjat tebing. Sedangkan Aldi dan bunda menunggu di pinggir sungai.

Di atas perahu, sembari memandang sekeliling Nadine berfikir kemana dayung yang satunya pergi? Dia penasaran dan mengeluarkan kaca pembesar dari sakunya. Ya, Nadine suka sekali membawa kaca pembesar, hadiah dari Om Irwan, kemanapun dia pergi.

Kali ini Nadine melihat sekeliling menggunakan kaca pembesar. Mereka menyusuri sungai dari ujung ke ujung. Tante Irma dan Om Irwan menjelaskan berbagai nama pohon dan buah kepada Nadine. Nadine senang sekali, dia jadi banyak tahu hal baru disini. Tapi, Hei, Nadine seperti mengenali sesuatu di ujung penglihatannya. Apa itu?

“Om Irwan, kita jalan ke ujung situ yuk, yang ada pohon rambutan di ujung itu.” Pinta Nadine pada Om Irwan. Om Irwan pun mendayung perahu mereka ke arah yang dimaksud Nadine.

“Mau ngapain kesitu lagi? Kita kan tadi udah lewat situ, ini mau balik ke tempat Bunda nunggu.” Tante Irma bertanya meyakinkan. “Nadine seperti melihat sesuatu, tante. Nadine pengen lihat dari dekat biar lebih jelas.” Jawab Nadine.

“Itu! Ya,benar. Itu dayungnya. Yeay, dayungnya ketemu.” Nadine berseru kencang, begitu perahu mendekati pohon rambutan itu. Om Irwan menepikan perahu mereka dan naik ke daratan. Terus berjalan menuju pohon rambutan besar yang dimaksud Nadine.

“Dimana Nadine, disini hanya ada batang singkong dan beberapa ranting pendek.” Pandangan Om Irwan menyapu ke sekitar. “Itu, Om. Dayungnya ada di atas pohon.” Jawab Nadine.

Om Irwan mendongak ke atas, dan benar. Dayungnya ada di atas pohon. Dengan sedikit memanjat Om Irwan berhasil mengambilnya dan segera kembali mendayung perahu mereka. Kali ini beban dayung Om Irwan lebih ringan karena dibantu tante Irma yang mendayung juga.

“Wah, Nadine hebat! Bisa menemukan dayung yang hilang. Sekarang Om Irwan ga keberatan lagi mendayungnya. Eh tapi Om mau Tanya deh, darimana Nadine bisa tahu kalo dayungnya ada di atas pohon rambutan?” ternyata Om Irwan penasaran. Hihihi

“Nadine juga gak tau Om. Nadine Cuma penasaran aja dayungnya kok bisa hilang? Apa ada yang mencurinya, atau gimana. Nadine iseng aja lihat-lihat pakai kaca pembesar, siapa tahu dapat petunjuk. Eh, malah ketemu dayungnya.” Jawab Nadine sumringah.

Sesampainya di pinggir sungai tempat Bunda dan Aldi menunggu, mereka disambut oleh penjaga yang membantu mereka naik ke daratan.

“Lho neng, dayungnya ada dua. Ini dayung yang tadi hilang kan? Ketemu dimana ya?” Si Abang penasaran dan bertanya pada tante Irma yang sedang membayar uang sewa perahu.

“Ketemu di atas pohon rambutan besar di ujung sana. Nadine yang menemukannya, bang.” Terang tante Irma.

“Oh disitu. Eh tapi kok bisa ya dayung ini di atas pohon? Pantas saja tadi pagi saya tidak menemukannya, lha wong saya mencarinya di bawah aja gak lihat ke atas.” Gumam si Abang makin penasaran.

“Bang, dayungnya hilang sejak kapan?” Tanya Nadine.

“Kemarin sore waktu saya mau pulang, saya masih sempat merapikan perahu karet dan dayungnya di dalam, Neng. Tapi pagi tadi ketika saya menyiapkan perahu karet dayungnya sudah berkurang satu jumlahnya. Saya sudah mencarinya di sekitar sungai tapi tidak ketemu.” Ujar si Abang menjelaskan.

Jika Nadine sudah mulai banyak bertanya, itu artinya dia tidak akan berhenti sebelum masalahnya tuntas. Bunda hanya tersenyum kagum memperhatikan sulung 5 tahunnya itu.

“Hm, berarti kejadiannya antara sore, malam atau pagi sekali sebelum semua datang.” Nadine menggumam berfikir.

“Kalo malam ada yang jaga disini tidak bang?” Nadine mulai menyelidik. “Ada Neng, dia jaga dari jam 7 malam sampai jam 7 pagi.” Abang penjaga menjelaskan dengan sabar.

“Pung, tuker uang donk! Gocap nih.” Seseorang berseru dari kejauhan. Ternyata seorang penjaga wahana outbond lain. Si Abang penjaga memberikan uang yang diminta temannya, “Eh iya Pung, kemarin sore gue lihat ada beberapa anak kampung lagi ngambilin buah rambutan di ujung situ. Elu lihat kagak? Gue lihat pas gue ngambil motor di parkiran.” “Kagak, lha gue kan udah pulang duluan sebelum elo pulang.” Jawab si Abang penjaga yang dipanggil dengan sebutan ‘Pung’ tadi. “Oh iya ya, gue lupa. Ya udah gue balik dulu. Makasih ya.” Kemudian beranjak pergi.

“Ya udah Neng, makasih ya udah nemuin dayungnya.” Si Abang bermaksud menutup permbicaraan.

Nadine justru makin bersemangat karena mendapatkan sebuah petunjuk. “Bang, bisa jadi anak-anak yang mengambil buah rambutan itu yang mengambil dayungnya. Mungkin dipakai buat galah.” Nadine mengutarakan pemikirannya. “Iya sih, itu mungkin saja, karena tadi sewaktu Om Irwan kesitu, di bawah pohon itu hanya ada batang singkong dan ranting kecil yang pendek.” Om Irwan sepemikiran dengan Nadine. “Jadi mereka membutuhkan kayu atau sesuatu yang lebih panjang untuk bisa mencapai buah rambutannya.”

“Dimana kita bisa menemui anak-anak itu Bang?” kejar Nadine.

“Di kampung sebelah, Neng. Lewat belakang.” Ujar si Abang.

“Yuk kita kesitu, Bang.” Ajak Nadine lagi.

“Ya udah Neng, yuk ikut Abang, lewat sini. Hati-hati Neng.” Si Abang mulai berjalan.

Nadine, Om Irwan dan tante Irma mengikuti Abang penjaga berjalan melewati semak-semak menuju kampung di belakang tempat itu. Sedangkan Ayah, Bunda dan Aldi memilih naik ke atas menunggu sambil bermain di playground.

Mereka keluar dari tempat wisata itu lewat belakang. Di perbatasan kampung, mereka bertemu anak-anak yang sedang bermain petak umpet. “Hei, boy, sini.” Panggil si Abang. Mereka berlari mendekat, jumlahnya ada 5 anak laki-laki.

“Siapa di antara kalian yang kemarin sore mengambil buah rambutan di ujung itu?” Tanya Si Abang. Mereka semua menggeleng. Tidak ada yang mengaku.

“Ayo jawab. Jangan bohong Lu pada. Temen gue ngelihat Lu pada ngambil buah rambutan. Iya kan? Ayo ngaku!” Mereka bergeming. Masih diam seribu bahasa.

“Oke, kalo ga ada yang mau ngaku. Gue Tanya sekali lagi nih ya, apa kalian juga yang ngambil dayung perahu karet? Lu nyusahin gue tahu kagak? Gue nyari tu dayung sepagian ampe siang kagak ketemu. Penumpang gue repot karena cuma pakai satu dayung. Eh, taunya Lu umpetin di atas pohon. Lu mau ngambil buah rambutan kagak ape-ape, asal jangan dayung gue Lu umpetin!” si Abang mulai emosi.

“Kagak Bang. Kita gak ngumpetin dayungnya. Iya deh, kami ngaku. Kami memang mengambil dayung perahu karet buat galah ngambil buah rambutan. Tapi kami cuma mau pinjam, Bang. Setelahnya akan kami kembalikan ke tempatnya lagi. Eh, belum sempat dapet buah rambutan, tiba-tiba ada monyet datang. Kami kaget dan langsung lari karena takut. Maafin kami ya bang.” Aku salah seorang anak yang bernama Bayu. “Iya Bang, kami bahkan belum sempat dapat buah rambutannya.” Timpal seorang temannya lagi.

“Oke gue maafin. Tapi lain kali jangan diulangi lagi ya.” Ujar si Abang penjaga.

“Kalo dayungnya ditinggal lari harusnya kan ada di tanah ya? Tapi ini kok bisa ada di atas pohon? Siapa yang bawa dayungnya naik ke atas?” Om Irwan bergumam pelan.

Sementara Nadine, malah kembali berjalan ke arah pohon rambutan dan mengamati sekeliling dengan kaca pembesar miliknya. Dan…

“Hei, Om, Tante, lihat itu!” tiba-tiba Nadine berseru sambil menunjuk ke arah pohon mangga tak jauh dari tempat mereka berdiri. Sontak semua melihat ke arah yang dimaksud dan berlari menghampiri.

“Monyet itu pelakunya. Setelah kakak-kakak itu lari karena monyet datang, dia mengambil dayung yang jatuh dan membawanya naik ke atas untuk tempat dia bertengger. Aha! Aku berhasil!” Sorak Nadine sangat gembira karena berhasil menemukan pelakunya.

“Tapi, darimana Nadine bisa mengambil kesimpulan itu?” Tante Irma berusaha memastikan.

“Coba perhatikan monyet itu, tante. Dia sekarang bertengger di atas sebuah papan yang disilangkannya di antara dahan pohon mangga, bukan langsung ke dahan pohonnya. Nah, seperti itulah yang dilakukan monyet itu terhadap dayung perahu karetnya.” Nadine mencoba menjelaskan yang dia pikirkan.

“Wah, Nadine hebat! Bisa terfikir sampai kesitu. Benar juga. Monyet itu mungkin lebih suka bertengger di dahan atau kayu yang lebar agar bisa tiduran.” Tante Irma membenarkan penjelasan Nadine sembari memperhatikan monyet yang sedang tiduran di atas papan di pohon mangga. “Nadine berhasil memecahkan kasus ‘dayung yang naik ke atas pohon’ Keponakan tante memang detektif cilik yang hebat!” Puji tante Irma yang meraih Nadine ke dalam pelukannya dan mencium pipi Nadine.

Nadine senang sekali karena berhasil menemukan dayung sekaligus pelakunya. 









*Cernak ini ditulis pada tahun 2018 untuk sebuah buku antologi.