Benda Wasiat
Oleh: Qoty Intan Zulnida
“Mala, sini. Liburan nanti jadi kan kita ke rumah nenek?” tanya Sigi memastikan.
“Jadi, dong. Kita bisa puas-puasin main di air terjun, mendaki gunung dan panen tanaman di kebun. Yeay! Sudah ga sabar rasanya.” Mala antusias menjawab.
“Tuh, kan. Mala juga ga sabar, ya. Makanya gih sana belajar dulu yang rajin. Ulangan semester masih dua hari lagi, lho.” Tukas Sigi
“Siap! Beres deh. Ini juga kan lagi belajar. Kak Sigi aja nih ngajakin ngobrol mulu dari tadi.”
***
Pagi-pagi sekali, Sigi dan Mala sudah siap dengan segala barang bawaan mereka untuk bekal menginap di rumah nenek dan kakek selama liburan. Ayah dan Bunda pun turut serta. Meski hanya mengantarkan saja karena kantor Ayah tidak libur. Di perjalanan, kakak beradik yang terpaut usia tiga tahun itu bernyanyi riang sembari menikmati hamparan pemandangan nan asri menawan. Hawa sejuk pegunungan mulai terasa. Jalanan yang meliuk membuat perjalanan ini makin menyenangkan. Perjalanan panjang itu pun menjadi tidak terasa melelahkan.
“Enak banget disini ya, Yah. Refreshing otak nih. Kemarin kan pusing habis mikirin ujian,” kataku kepada Ayah.
“Iya, Gi. Ayah nginep disini semalam saja. Besok pagi Ayah dan Bunda pulang ke rumah. Kalian disini baik-baik, ya.”
“Siap, Komandan!”
“Cucuku cah ayu, Sigi dan Mala. Kalian berdua udah besar. Kakek dan Nenek punya sesuatu yang sangat berharga. Ini barang bersejarah, peninggalan turun temurun dari nenek moyang kita. Kakek rasa sudah waktunya memberikan benda itu pada kalian berdua,” kata Kakek.
“Benda apa itu, Kek? Tanya Mala tak sabar.
“Karena benda itu sangat berharga, tentu tidak mudah untuk mendapatkannya. Sementara Kakek hanya memberikan satu petunjuk ini dulu untuk kalian,” kata Kakek sambil menyerahkan secarik kertas pada kami.
“WAKTU MATAHARI SEPENGGALAH, DI BAWAH ORANG-ORANGAN SAWAH.” Aku dan Mala membaca tulisan di kertas itu dengan keras.
Kami berdua saling berpandangan. Suasana yang tadi hangat penuh cerita, kini senyap penuh misteri.
“Oh, iya Kak. Mungkin kita disuruh mulai mencari di waktu dhuha. Terus, mencarinya di bawah orang-orangan sawah yang ada di sawah Kakek, mungkin.” Jawab Mala antusias.
“Bisa jadi. Oke. Besok pagi sekitar jam sembilan kita mulai mencari di sawah kakek ya, Mala.”
“Oke.”
“Jadi, dong. Kita bisa puas-puasin main di air terjun, mendaki gunung dan panen tanaman di kebun. Yeay! Sudah ga sabar rasanya.” Mala antusias menjawab.
“Tuh, kan. Mala juga ga sabar, ya. Makanya gih sana belajar dulu yang rajin. Ulangan semester masih dua hari lagi, lho.” Tukas Sigi
“Siap! Beres deh. Ini juga kan lagi belajar. Kak Sigi aja nih ngajakin ngobrol mulu dari tadi.”
***
Pagi-pagi sekali, Sigi dan Mala sudah siap dengan segala barang bawaan mereka untuk bekal menginap di rumah nenek dan kakek selama liburan. Ayah dan Bunda pun turut serta. Meski hanya mengantarkan saja karena kantor Ayah tidak libur. Di perjalanan, kakak beradik yang terpaut usia tiga tahun itu bernyanyi riang sembari menikmati hamparan pemandangan nan asri menawan. Hawa sejuk pegunungan mulai terasa. Jalanan yang meliuk membuat perjalanan ini makin menyenangkan. Perjalanan panjang itu pun menjadi tidak terasa melelahkan.
“Enak banget disini ya, Yah. Refreshing otak nih. Kemarin kan pusing habis mikirin ujian,” kataku kepada Ayah.
“Iya, Gi. Ayah nginep disini semalam saja. Besok pagi Ayah dan Bunda pulang ke rumah. Kalian disini baik-baik, ya.”
“Siap, Komandan!”
“Cucuku cah ayu, Sigi dan Mala. Kalian berdua udah besar. Kakek dan Nenek punya sesuatu yang sangat berharga. Ini barang bersejarah, peninggalan turun temurun dari nenek moyang kita. Kakek rasa sudah waktunya memberikan benda itu pada kalian berdua,” kata Kakek.
“Benda apa itu, Kek? Tanya Mala tak sabar.
“Karena benda itu sangat berharga, tentu tidak mudah untuk mendapatkannya. Sementara Kakek hanya memberikan satu petunjuk ini dulu untuk kalian,” kata Kakek sambil menyerahkan secarik kertas pada kami.
“WAKTU MATAHARI SEPENGGALAH, DI BAWAH ORANG-ORANGAN SAWAH.” Aku dan Mala membaca tulisan di kertas itu dengan keras.
Kami berdua saling berpandangan. Suasana yang tadi hangat penuh cerita, kini senyap penuh misteri.
“Oh, iya Kak. Mungkin kita disuruh mulai mencari di waktu dhuha. Terus, mencarinya di bawah orang-orangan sawah yang ada di sawah Kakek, mungkin.” Jawab Mala antusias.
“Bisa jadi. Oke. Besok pagi sekitar jam sembilan kita mulai mencari di sawah kakek ya, Mala.”
“Oke.”
Baca juga: Tips Perkuat Imunitas Tubuh
***
Ayah dan Bunda sudah pulang dua jam yang lalu. Kakek menyetujui rencana kami yang ingin mulai mencari benda wasiat itu jam sembilan pagi ini. Kakek pun akan mengantarkan kami ke sawah miliknya. Yes, kini petualangan itu segera dimulai. Kami bersorak gembira.
Setelah berjalan selama lima belas menit, kini kami berhadapan dengan hamparan hijau nan menyegarkan mata. Beberapa petak sawah di sebelah barat malah sudah nampak menguning. Meniti di pematang sawah, menjadi hiburan tersendiri bagi aku dan Mala.
“Itu sawah Kakek. Batasnya adalah gubuk kecil di seberang sana. Silakan kalian mencari disini sementara Kakek menunggu di gubuk itu, ya.”
“Baik, Kek.”
“Kak, Mala akan memeriksa orang-orangan sawah yang di sebelah sini. Kakak periksa yang di sebelah sana, ya.” Ujar Mala.
“Oke.”
Kami mulai mencari. Namun kami tak menemukan apa-apa kecuali selembar kertas yang dikaitkan di lengan baju salah satu orang-orangan sawah. Dengan tidak sabar, kami langsung membuka kertas itu.
Kembali kami membacanya dengan keras. “KEMBALI KE PERADUAN, BERGANTI CAHAYA. TEMPAT KEMBALINYA HEWAN BERSAYAP”
Apalagi ini? Teka-teki lagi?
Sore harinya, saat duduk-duduk di teras rumah kakek, tiba-tiba aku terfikir sesuatu.
“Hmm, ingat gak, kalimat petunjuk pertama menyebutkan waktu. Sepertinya kita melupakan sesuatu, La. Kita belum memecahkan arti kalimat ‘kembali ke peraduan, berganti cahaya’. Kalimat itu sepertinya menunjukkan waktu kapan kita harus mencarinya.”
“Benar juga ya, Kak,” sahut Mala. Mungkin maksudnya saat matahari terbenam, Kak. Kan setelah matahari terbenam, gantian bulan yang bercahaya.”
“Wah, kamu benar. Berarti kita kembali lagi nanti selepas maghrib,” simpulku. “Kita mandi dulu, yuk.”
***
Ayah dan Bunda sudah pulang dua jam yang lalu. Kakek menyetujui rencana kami yang ingin mulai mencari benda wasiat itu jam sembilan pagi ini. Kakek pun akan mengantarkan kami ke sawah miliknya. Yes, kini petualangan itu segera dimulai. Kami bersorak gembira.
Setelah berjalan selama lima belas menit, kini kami berhadapan dengan hamparan hijau nan menyegarkan mata. Beberapa petak sawah di sebelah barat malah sudah nampak menguning. Meniti di pematang sawah, menjadi hiburan tersendiri bagi aku dan Mala.
“Itu sawah Kakek. Batasnya adalah gubuk kecil di seberang sana. Silakan kalian mencari disini sementara Kakek menunggu di gubuk itu, ya.”
“Baik, Kek.”
“Kak, Mala akan memeriksa orang-orangan sawah yang di sebelah sini. Kakak periksa yang di sebelah sana, ya.” Ujar Mala.
“Oke.”
Kami mulai mencari. Namun kami tak menemukan apa-apa kecuali selembar kertas yang dikaitkan di lengan baju salah satu orang-orangan sawah. Dengan tidak sabar, kami langsung membuka kertas itu.
Kembali kami membacanya dengan keras. “KEMBALI KE PERADUAN, BERGANTI CAHAYA. TEMPAT KEMBALINYA HEWAN BERSAYAP”
Apalagi ini? Teka-teki lagi?
Sore harinya, saat duduk-duduk di teras rumah kakek, tiba-tiba aku terfikir sesuatu.
“Hmm, ingat gak, kalimat petunjuk pertama menyebutkan waktu. Sepertinya kita melupakan sesuatu, La. Kita belum memecahkan arti kalimat ‘kembali ke peraduan, berganti cahaya’. Kalimat itu sepertinya menunjukkan waktu kapan kita harus mencarinya.”
“Benar juga ya, Kak,” sahut Mala. Mungkin maksudnya saat matahari terbenam, Kak. Kan setelah matahari terbenam, gantian bulan yang bercahaya.”
“Wah, kamu benar. Berarti kita kembali lagi nanti selepas maghrib,” simpulku. “Kita mandi dulu, yuk.”
Baca juga: Air Mineral Kaya Manfaat
***
Malamnya, kami menemukan kertas petunjuk berikutnya terselip di antara bambu kandang ayam di belakang rumah kakek. Kalimatnya berbunyi: BULAN PURNAMA, BAMBU BERSUSUN
“Karena di dua kertas sebelumnya frasa awal itu petunjuk waktu, berarti kita hanya bisa melakukan pencarian di malam bulan purnama aja dong, Kak.”
“Iya, Mala. Kamu benar. Kenapa gak sekarang aja sih?” sungutku.
“Kita kan harus sabar, Kak. Ingat kan kata Kakek, untuk mendapatkannya tidak mudah.” Mala berusaha menenangkanku.
“Kakek, kapan sih ada bulan purnama?” tanya Mala setelah menghampiri kakek di ruang tamu.
“Bulan purnama dua hari lagi, nak,” jawab Kakek. “Hari ini tanggal tiga belas. Bulan purnama kan tanggal lima belas.”
“Oh, iya Kek. Terima kasih, Kek.”
***
Malam ini adalah malam bulan purnama. Kami was-was menunggu di teras rumah kakek.
“Kak, bambu bersusun itu maksudnya apa ya? Kita kan belum menemukan artinya.”
“Oh iya, Mala. Kakak lupa bilang ke kamu. Setelah Kakak pikir sejak kemarin, sepertinya yang dimaksud adalah kursi panjang ini. Karena di sekitar rumah kakek tidak ada lagi bambu atau benda lain yang terbuat dari bambu yang disusun.” Jawabku mantap.
“Iya juga ya, Kak. Coba Mala lihat.” Ujarnya sembari memperhatikan sekeliling kursi panjang yang terbuat dari bambu itu.
“Mala, Lihat itu! Ada gulungan kecil berwarna putih di ujung kaki kursi” teriakku.
Kami pun bergegas mengambil dan membukanya. Sebuah kertas kecil bertuliskan: AYAM BERKOKOK, AIR TERJUN
“Besok pagi di air terjun!” Kami bersorak. Tak sabar rasanya menunggu esok hari.
“Apa yang kalian temukan, nak? Sepertinya bahagia sekali.” Tanya Nenek
“Nek, besok pagi kami mau ke air terjun. Petunjuknya mengarahkan kami kesana.” Kata Mala.
“Baiklah, besok Kakek dan Nenek akan menemani kalian.” Kata Nenek.
“Asyik!”
***
Pagi-pagi sekali aku, Mala, Kakek dan nenek sudah tiba di lokasi air terjun. Kami menaiki angkutan umum selama tiga puluh menit diteruskan dengan berjalan kaki sejauh 500 meter untuk sampai di gerbang Curug Silawe. Dilanjutkan dengan menuruni jalan setapak selama kurang lebih sepuluh menit kami tiba di lokasi.
Sepagi itu, angin terasa sangat dingin. Namun tak menyurutkan langkah kami menjelajah Curug Silawe.
“Nak, silakan jika ingin berenang, berfoto atau bermain-main dulu disini.” Kata Kakek.
“Tapi, Kek. Kami belum menemukan petunjuk apapun disini.” Jawabku.
Puas sekali aku dan Mala bermain air, mengambil gambar di bebatuan sekitar air terjun dan berenang. Meski airnya dingin merasuk tulang. Kami senang sekali.
“Kak, di batu dekat air terjun itu sepertinya ada tulisan. Kita lihat yuk,” ajak Mala.
Dengan berhati-hati kami melewati bebatuan dan sampailah di batu dekat air terjun. Disana tertera tulisan: TAS KAKEK
“Kakek....!” kami langsung berjalan menghampiri gazebo tempat kakek dan nenek duduk bersantai.
“Wah, kalian berdua memang teliti sekali. Baiklah, sudah saatnya Kakek memberikannya pada kalian.” Jawab Kakek.
Kami berdua sungguh penasaran. Seperti apa gerangan benda wasiat itu. Benda bersejarah yang harus dijaga dengan baik dan diwariskan turun temurun. Kakek mengeluarkan sebuah kotak kayu berukuran kecil berwarna cokelat.
“Inilah benda turun temurun yang diwariskan nenek moyangmu, Nak. Kalian jaga dan rawat dengan baik, ya. Kelak, berikanlah benda ini pada anak cucu kalian.” Pesan Kakek sambil menyerahkan kotak itu.
Kami yang penasaran langsung membuka kotak kayu tersebut. Ada sebuah kalung dengan liontin batu ruby merah jambu. Dan sebuah cincin bermatakan safir blue light. Indah sekali.
***
Malamnya, kami menemukan kertas petunjuk berikutnya terselip di antara bambu kandang ayam di belakang rumah kakek. Kalimatnya berbunyi: BULAN PURNAMA, BAMBU BERSUSUN
“Karena di dua kertas sebelumnya frasa awal itu petunjuk waktu, berarti kita hanya bisa melakukan pencarian di malam bulan purnama aja dong, Kak.”
“Iya, Mala. Kamu benar. Kenapa gak sekarang aja sih?” sungutku.
“Kita kan harus sabar, Kak. Ingat kan kata Kakek, untuk mendapatkannya tidak mudah.” Mala berusaha menenangkanku.
“Kakek, kapan sih ada bulan purnama?” tanya Mala setelah menghampiri kakek di ruang tamu.
“Bulan purnama dua hari lagi, nak,” jawab Kakek. “Hari ini tanggal tiga belas. Bulan purnama kan tanggal lima belas.”
“Oh, iya Kek. Terima kasih, Kek.”
***
Malam ini adalah malam bulan purnama. Kami was-was menunggu di teras rumah kakek.
“Kak, bambu bersusun itu maksudnya apa ya? Kita kan belum menemukan artinya.”
“Oh iya, Mala. Kakak lupa bilang ke kamu. Setelah Kakak pikir sejak kemarin, sepertinya yang dimaksud adalah kursi panjang ini. Karena di sekitar rumah kakek tidak ada lagi bambu atau benda lain yang terbuat dari bambu yang disusun.” Jawabku mantap.
“Iya juga ya, Kak. Coba Mala lihat.” Ujarnya sembari memperhatikan sekeliling kursi panjang yang terbuat dari bambu itu.
“Mala, Lihat itu! Ada gulungan kecil berwarna putih di ujung kaki kursi” teriakku.
Kami pun bergegas mengambil dan membukanya. Sebuah kertas kecil bertuliskan: AYAM BERKOKOK, AIR TERJUN
“Besok pagi di air terjun!” Kami bersorak. Tak sabar rasanya menunggu esok hari.
“Apa yang kalian temukan, nak? Sepertinya bahagia sekali.” Tanya Nenek
“Nek, besok pagi kami mau ke air terjun. Petunjuknya mengarahkan kami kesana.” Kata Mala.
“Baiklah, besok Kakek dan Nenek akan menemani kalian.” Kata Nenek.
“Asyik!”
***
Pagi-pagi sekali aku, Mala, Kakek dan nenek sudah tiba di lokasi air terjun. Kami menaiki angkutan umum selama tiga puluh menit diteruskan dengan berjalan kaki sejauh 500 meter untuk sampai di gerbang Curug Silawe. Dilanjutkan dengan menuruni jalan setapak selama kurang lebih sepuluh menit kami tiba di lokasi.
Sepagi itu, angin terasa sangat dingin. Namun tak menyurutkan langkah kami menjelajah Curug Silawe.
“Nak, silakan jika ingin berenang, berfoto atau bermain-main dulu disini.” Kata Kakek.
“Tapi, Kek. Kami belum menemukan petunjuk apapun disini.” Jawabku.
Puas sekali aku dan Mala bermain air, mengambil gambar di bebatuan sekitar air terjun dan berenang. Meski airnya dingin merasuk tulang. Kami senang sekali.
“Kak, di batu dekat air terjun itu sepertinya ada tulisan. Kita lihat yuk,” ajak Mala.
Dengan berhati-hati kami melewati bebatuan dan sampailah di batu dekat air terjun. Disana tertera tulisan: TAS KAKEK
“Kakek....!” kami langsung berjalan menghampiri gazebo tempat kakek dan nenek duduk bersantai.
“Wah, kalian berdua memang teliti sekali. Baiklah, sudah saatnya Kakek memberikannya pada kalian.” Jawab Kakek.
Kami berdua sungguh penasaran. Seperti apa gerangan benda wasiat itu. Benda bersejarah yang harus dijaga dengan baik dan diwariskan turun temurun. Kakek mengeluarkan sebuah kotak kayu berukuran kecil berwarna cokelat.
“Inilah benda turun temurun yang diwariskan nenek moyangmu, Nak. Kalian jaga dan rawat dengan baik, ya. Kelak, berikanlah benda ini pada anak cucu kalian.” Pesan Kakek sambil menyerahkan kotak itu.
Kami yang penasaran langsung membuka kotak kayu tersebut. Ada sebuah kalung dengan liontin batu ruby merah jambu. Dan sebuah cincin bermatakan safir blue light. Indah sekali.
note: cerpen ini telah diterbitkan di buku kumpulan cernak berjudul Hidden Treasure oleh penerbit Unicorn tahun 2018
T