Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan

Benda Wasiat


Oleh: Qoty Intan Zulnida 


“Mala, sini. Liburan nanti jadi kan kita ke rumah nenek?” tanya Sigi memastikan.

“Jadi, dong. Kita bisa puas-puasin main di air terjun, mendaki gunung dan panen tanaman di kebun. Yeay! Sudah ga sabar rasanya.” Mala antusias menjawab.

“Tuh, kan. Mala juga ga sabar, ya. Makanya gih sana belajar dulu yang rajin. Ulangan semester masih dua hari lagi, lho.” Tukas Sigi

“Siap! Beres deh. Ini juga kan lagi belajar. Kak Sigi aja nih ngajakin ngobrol mulu dari tadi.”

***

Pagi-pagi sekali, Sigi dan Mala sudah siap dengan segala barang bawaan mereka untuk bekal menginap di rumah nenek dan kakek selama liburan. Ayah dan Bunda pun turut serta. Meski hanya mengantarkan saja karena kantor Ayah tidak libur. Di perjalanan, kakak beradik yang terpaut usia tiga tahun itu bernyanyi riang sembari menikmati hamparan pemandangan nan asri menawan. Hawa sejuk pegunungan mulai terasa. Jalanan yang meliuk membuat perjalanan ini makin menyenangkan. Perjalanan panjang itu pun menjadi tidak terasa melelahkan.



“Enak banget disini ya, Yah. Refreshing otak nih. Kemarin kan pusing habis mikirin ujian,” kataku kepada Ayah.

“Iya, Gi. Ayah nginep disini semalam saja. Besok pagi Ayah dan Bunda pulang ke rumah. Kalian disini baik-baik, ya.”

“Siap, Komandan!”







“Cucuku cah ayu, Sigi dan Mala. Kalian berdua udah besar. Kakek dan Nenek punya sesuatu yang sangat berharga. Ini barang bersejarah, peninggalan turun temurun dari nenek moyang kita. Kakek rasa sudah waktunya memberikan benda itu pada kalian berdua,” kata Kakek.

“Benda apa itu, Kek? Tanya Mala tak sabar.

“Karena benda itu sangat berharga, tentu tidak mudah untuk mendapatkannya. Sementara Kakek hanya memberikan satu petunjuk ini dulu untuk kalian,” kata Kakek sambil menyerahkan secarik kertas pada kami.

“WAKTU MATAHARI SEPENGGALAH, DI BAWAH ORANG-ORANGAN SAWAH.” Aku dan Mala membaca tulisan di kertas itu dengan keras.

Kami berdua saling berpandangan. Suasana yang tadi hangat penuh cerita, kini senyap penuh misteri.



















“Oh, iya Kak. Mungkin kita disuruh mulai mencari di waktu dhuha. Terus, mencarinya di bawah orang-orangan sawah yang ada di sawah Kakek, mungkin.” Jawab Mala antusias.

“Bisa jadi. Oke. Besok pagi sekitar jam sembilan kita mulai mencari di sawah kakek ya, Mala.”

“Oke.” 

Baca juga: Tips Perkuat Imunitas Tubuh

***

Ayah dan Bunda sudah pulang dua jam yang lalu. Kakek menyetujui rencana kami yang ingin mulai mencari benda wasiat itu jam sembilan pagi ini. Kakek pun akan mengantarkan kami ke sawah miliknya. Yes, kini petualangan itu segera dimulai. Kami bersorak gembira.

Setelah berjalan selama lima belas menit, kini kami berhadapan dengan hamparan hijau nan menyegarkan mata. Beberapa petak sawah di sebelah barat malah sudah nampak menguning. Meniti di pematang sawah, menjadi hiburan tersendiri bagi aku dan Mala.

“Itu sawah Kakek. Batasnya adalah gubuk kecil di seberang sana. Silakan kalian mencari disini sementara Kakek menunggu di gubuk itu, ya.”

“Baik, Kek.”

“Kak, Mala akan memeriksa orang-orangan sawah yang di sebelah sini. Kakak periksa yang di sebelah sana, ya.” Ujar Mala.

“Oke.”

Kami mulai mencari. Namun kami tak menemukan apa-apa kecuali selembar kertas yang dikaitkan di lengan baju salah satu orang-orangan sawah. Dengan tidak sabar, kami langsung membuka kertas itu.

Kembali kami membacanya dengan keras. “KEMBALI KE PERADUAN, BERGANTI CAHAYA. TEMPAT KEMBALINYA HEWAN BERSAYAP”

Apalagi ini? Teka-teki lagi?





Sore harinya, saat duduk-duduk di teras rumah kakek, tiba-tiba aku terfikir sesuatu.









“Hmm, ingat gak, kalimat petunjuk pertama menyebutkan waktu. Sepertinya kita melupakan sesuatu, La. Kita belum memecahkan arti kalimat ‘kembali ke peraduan, berganti cahaya’. Kalimat itu sepertinya menunjukkan waktu kapan kita harus mencarinya.”

“Benar juga ya, Kak,” sahut Mala. Mungkin maksudnya saat matahari terbenam, Kak. Kan setelah matahari terbenam, gantian bulan yang bercahaya.”

“Wah, kamu benar. Berarti kita kembali lagi nanti selepas maghrib,” simpulku. “Kita mandi dulu, yuk.” 

Baca juga: Air Mineral Kaya Manfaat 

***

Malamnya, kami menemukan kertas petunjuk berikutnya terselip di antara bambu kandang ayam di belakang rumah kakek. Kalimatnya berbunyi: BULAN PURNAMA, BAMBU BERSUSUN

“Karena di dua kertas sebelumnya frasa awal itu petunjuk waktu, berarti kita hanya bisa melakukan pencarian di malam bulan purnama aja dong, Kak.”

“Iya, Mala. Kamu benar. Kenapa gak sekarang aja sih?” sungutku.

“Kita kan harus sabar, Kak. Ingat kan kata Kakek, untuk mendapatkannya tidak mudah.” Mala berusaha menenangkanku.

“Kakek, kapan sih ada bulan purnama?” tanya Mala setelah menghampiri kakek di ruang tamu.

“Bulan purnama dua hari lagi, nak,” jawab Kakek. “Hari ini tanggal tiga belas. Bulan purnama kan tanggal lima belas.”

“Oh, iya Kek. Terima kasih, Kek.”

***

Malam ini adalah malam bulan purnama. Kami was-was menunggu di teras rumah kakek.

“Kak, bambu bersusun itu maksudnya apa ya? Kita kan belum menemukan artinya.”

“Oh iya, Mala. Kakak lupa bilang ke kamu. Setelah Kakak pikir sejak kemarin, sepertinya yang dimaksud adalah kursi panjang ini. Karena di sekitar rumah kakek tidak ada lagi bambu atau benda lain yang terbuat dari bambu yang disusun.” Jawabku mantap.

“Iya juga ya, Kak. Coba Mala lihat.” Ujarnya sembari memperhatikan sekeliling kursi panjang yang terbuat dari bambu itu.

“Mala, Lihat itu! Ada gulungan kecil berwarna putih di ujung kaki kursi” teriakku.

Kami pun bergegas mengambil dan membukanya. Sebuah kertas kecil bertuliskan: AYAM BERKOKOK, AIR TERJUN

“Besok pagi di air terjun!” Kami bersorak. Tak sabar rasanya menunggu esok hari.

“Apa yang kalian temukan, nak? Sepertinya bahagia sekali.” Tanya Nenek

“Nek, besok pagi kami mau ke air terjun. Petunjuknya mengarahkan kami kesana.” Kata Mala.

“Baiklah, besok Kakek dan Nenek akan menemani kalian.” Kata Nenek.

“Asyik!”

***

Pagi-pagi sekali aku, Mala, Kakek dan nenek sudah tiba di lokasi air terjun. Kami menaiki angkutan umum selama tiga puluh menit diteruskan dengan berjalan kaki sejauh 500 meter untuk sampai di gerbang Curug Silawe. Dilanjutkan dengan menuruni jalan setapak selama kurang lebih sepuluh menit kami tiba di lokasi.

Sepagi itu, angin terasa sangat dingin. Namun tak menyurutkan langkah kami menjelajah Curug Silawe.

“Nak, silakan jika ingin berenang, berfoto atau bermain-main dulu disini.” Kata Kakek.

“Tapi, Kek. Kami belum menemukan petunjuk apapun disini.” Jawabku.



Puas sekali aku dan Mala bermain air, mengambil gambar di bebatuan sekitar air terjun dan berenang. Meski airnya dingin merasuk tulang. Kami senang sekali.

“Kak, di batu dekat air terjun itu sepertinya ada tulisan. Kita lihat yuk,” ajak Mala.

Dengan berhati-hati kami melewati bebatuan dan sampailah di batu dekat air terjun. Disana tertera tulisan: TAS KAKEK

“Kakek....!” kami langsung berjalan menghampiri gazebo tempat kakek dan nenek duduk bersantai.



“Wah, kalian berdua memang teliti sekali. Baiklah, sudah saatnya Kakek memberikannya pada kalian.” Jawab Kakek.

Kami berdua sungguh penasaran. Seperti apa gerangan benda wasiat itu. Benda bersejarah yang harus dijaga dengan baik dan diwariskan turun temurun. Kakek mengeluarkan sebuah kotak kayu berukuran kecil berwarna cokelat.

“Inilah benda turun temurun yang diwariskan nenek moyangmu, Nak. Kalian jaga dan rawat dengan baik, ya. Kelak, berikanlah benda ini pada anak cucu kalian.” Pesan Kakek sambil menyerahkan kotak itu.

Kami yang penasaran langsung membuka kotak kayu tersebut. Ada sebuah kalung dengan liontin batu ruby merah jambu. Dan sebuah cincin bermatakan safir blue light. Indah sekali.



note: cerpen ini telah diterbitkan di buku kumpulan cernak berjudul Hidden Treasure oleh penerbit Unicorn tahun 2018
T
Bismillah, postingan pertama di bulan Februari nih. 

Kali ini saya mau memposting cerpen karya saya hampir dua tahun lalu. Saat itu, beberapa bulan setelah mengikuti workshop writerpreneur yang diselenggarakan oleh BEKRAF di Madiun. 


Cerpen ini dimuat dalam buku antologi bersama alumni workshop yang sama. Yang baru launching dalam Bookfair di JCC September 2019 lalu. 


Proses pengumpulan naskah dan penerbitan buku ini lumayan panjang dan berliku. Ada sesuatu hal yang menjadi kendala dan tidak bisa dijelaskan disini. 


Saya mengirim dua naskah cerpen untuk proyek buku ini. Dan ini adalah cerpen pertama saya. Tentu saja masih banyak kekurangan disana-sini. 


Untuk itulah saya mengepost disini, agar pembaca sekalian berkenan memberikan krisan yang membangun. Demi perbaikan ke depannya. 


Meskipun saya belum tahu apakah akan berkarya di dunia fiksi lagi karena saya merasa dunia saya bukan disitu. Padahal saya suka banget baca cerita fiksi, loh. Namun dalam hal  menulis, saya lebih suka menulis nonfiksi. 




Sunrise In Bromo 

“Gara-gara Lo, nih, Daf! Kita jadi gak bisa dapetin foto yang cakep nanti,” Alesha bersuara ketus.

“Maaf, Al. Gue kan gak sengaja. Lagian seinget gue semalem tuh udah gue masukin ke dalam tas, kok, kameranya,” Dafina berusaha membela diri. Dia kesal kenapa juga Alesha si teliti itu harus mengabsen barang bawaan mereka ketika masih di pesawat. Alhasil begini nih jadinya, baru aja pesawat Air Asia yang mereka tumpangi lepas landas, Alesha udah sewot gara-gara kameranya ketinggalan.


“Kalo Lo udah masukin tuh kamera ke dalam tas, ya gak bakal ketinggalan, lah. Nyatanya?”


“Ya, maaf, Al.” Dafina memegang lengan Alesha, berusaha meminta maaf darinya. “Oh iya, Gue baru inget. Semalem waktu Elo udah tidur Gue sempet ngeluarin kamera buat ganti baterai, trus kameranya Gue taruh di samping tv,” Dafina menggaruk kepalanya yang tidak gatal, “Gue lupa masukin lagi kameranya ke tas sebelum berangkat. Maafin ya, Al. Gue salah.”


“Ah, Elo sih, Daf. Jadi rusak nih mood Gue.”


“Udahlah, Al. Nanti kita foto-fotonya pake kamera hp aja. Punya Lo kan bagus, tuh. Bening juga kok hasilnya. Gak kalah kan ama kamera gue.”


“Iya, tapi kan resolusinya lebih bagus kalo pake kamera, Daf!” Alesha mendengus.


Dafina mendekatkan ujung bibirnya ke telinga Al, “Al, udahan donk marahnya. Ghak enak tuh ama penumpang lain. Berisik.”

Alesha tak menyahut. Hening.


***

Dua gadis dengan perawakan sedang terlihat celingukan seperti sedang mencari seseorang. Bandara Juanda sepagi ini sudah ramai oleh pengunjung, baik yang baru datang maupun yang akan berangkat ke luar kota. Terlihat di berbagai sudut orang-orang dengan setengah berlari berlalu-lalang memburu waktu. 


Tak jauh dari tempat mereka berdiri, Nampak seorang pria jangkung dengan perawakan gagah mengangkat tangannya ke atas, menunjukkan kertas karton berukuran cukup besar bertuliskan; ALESHA-DAFINA. TRAVEL AGENT X. Aha, itu dia yang mereka cari. Bergegas mereka menghampiri pria itu.


“Permisi, Mbak. Dengan Mbak Alesha dan Mbak Dafina?” sapa pria itu ramah.


Dafina menjawab sembari mengulurkan tangan, “Iya, benar, Mas. Kenalin, saya Dafina. Ini teman saya, Alesha.” Dafina menyunggingkan senyum termanisnya.


“Halo, Mas. Saya Alesha. Dengan….Mas?”


“Saya Rio. Dari travel X. Mari, Mbak Alesha dan Mbak Dafina. Silakan masuk ke mobil. Saya bantu bawakan barang-barangnya.”


“Oke, makasih Mas Rio.” Seru mereka berdua serempak.


Kedua gadis itu tengah menikmati perjalanan mereka menuju Probolinggo. Saking bersemangatnya hingga tak ada rasa kantuk saat ini. Dafina mengeluarkan earphone dan gawainya. Menikmati alunan musik yang didengarnya dengan menggoyangkan kepalanya. Sesekali bibir mungilnya ikut bernyanyi dengan suara kecil. 


Sementara Alesha, memilih untuk membaca buku, melanjutkan novel yang dibacanya semalam. Sesekali ia memandangi view indah yang mereka lalui sepanjang perjalanan.


Empat jam berlalu, sampailah mereka di Kawasan Sungai Pekalen, di desa Ranu Gedang Kecamatan Tiris Kabupaten Probolinggo. Begitu sampai di lokasi, Alesha dan Dafina beristirahat sejenak melemaskan otot tubuh mereka. Matahari sudah mulai meninggi namun udara tidak terasa panas, bahkan yang dirasakan adalah kesejukan.


“Daf, Elo ngerasa laper, gak?”


Dafina merasakan perutnya yang mulai bernyanyi keroncong, “Iya, Al. Kita ‘kan belum makan dari pagi. Pesen makan dulu aja, yuk!” Ujarnya sembari mencomot pisang rebus hangat yang disediakan.


“Iya, nih. Eh, tapi coba deh Lo minum ini. Hangat, sejuk di tenggorokan. Enak banget, deh.” Alesha kembali menghirup minumannya.


Rio menimpali, “Minuman itu Namanya Poka, Mbak. Itu minuman khas di Songa Adventure ini. Terbuat dari teh yang dicampur jahe, keningar dan kayu manis.”


“Oh, pantes. Enak, Mas. Hangat.”


“Mana, sini. Gue mau coba.” Buru-buru Dafina meraih gelasnya lalu menyeruputnya. “Iya, lho. Enak.”


“Silakan, mbak kalau mau makan dulu. Saya mau koordinasi dengan pemandu disini. Satu jam lagi kita mulai rafting-nya, ya.”


“Oke.” Alesha dan Dafina menjawab serempak.



***

“Jadi gini, Mbak. Karena Mbak Alesha dan Mbak Dafina rombongannya hanya berdua, jadi saat rafting digabungin dengan rombongan lain yang juga berdua. Gapapa, ‘kan, Mbak?” Pemandu rafting bertanya saat briefing.


“Gapapa, Mas. Oke aja, kok.”


“Baik, kalau begitu. Mari kita menuju start point. Sudah siap semua, ‘kan?”


“Siap!”


 “Daf! Lo lihat tuh! View disini tuh bagus banget! Sayang banget kita gak bawa kamera.”


“Ya udahlah, Al. Kita nikmati aja liburan kita disini, sepuasnya.” Dafina nyengir, dalam hatinya pun menyayangkan kamera yang tertinggal di rumah.


Alesha, Dafina dan dua peserta lain sudah siap di perahu karet. Pemandu pun siap di posisi belakang. Masing-masing memegang satu dayung. Teknik mendayung sudah diajarkan tadi ketika briefing. Dan setelah berdoa menurut keyakinan masing-masing, meluncurlah mereka menyusuri sungan Pekalen.


Rafting a.k.a arung jeram di sungai Pekalen ini ada beberapa pilihan kelas. Alesha dan Dafina memilih kelas tiga dengan jalur Pekalen Atas. Sungai dengan lebar 5-20 meter dan kedalaman air antara 1-3 meter ini memiliki tiga jalur. Yaitu jalur pekalen Atas kurang lebih berjarak 12 km, Pekalen Tengah kurang lebih 7 km, dan pakelan Bawah 9 km. Kebanyakan pengunjung memilih rafting di jalur Pekalen Atas, karena menawarkan keindahan panoramanya yang sangat memukau.



source: songarafting.wordpress.com
Rafting di Sungai Pekalen Atas, Alesha dan Dafina disuguhi pesona alam yang sangat indah. Selain berteman dengan hijaunya pemandangan yang nampak, perjalanan makin seru dengan banyaknya jeram yang dilalui dan air terjun yang dilewati. Kurang lebih ada tujuh air terjun yang mereka jumpai di jalur ini. Salah satunya, air terjun kelelawar dengan ciri khas jajaran air terjun yang amat cantik, suara dan juga aroma kotoran kelelawar. Tak kurang dari 50 jeram yang dilalui di jalur ini. Lengkap dengan namanya yaitu, Welcome, Batu Jenggot, Pandawa, Rajawali, Xtravaganza, dan lain-lain. Bahkan ada yang bernama jeram Inul karena setiap peserta harus bergoyang bak Inul saat melewatinya.

***


“Gila! Seru abis, Al! Keren!!” seru Dafina yang kesekian kalinya sambil membuka kaca mobil. Ia ingin merasakan hawa dingin udara disini. Sejak selesai rafting, Dafina tidak berhenti mengoceh tentang keseruan mereka rafting hari itu. 


“Iya. Gokil banget sampe kita hampir gak punya dokumentasi. Untung aja dari Songa Adventurenya nyediain kamera di beberapa sudut jadi kita bisa nebus foto-foto kita dari mereka. Kalau gak ‘kan kita gak punya foto sama sekali, Daf.”


“Iya, ya. Hehe. Nah makanya tuh, Al. Lo tenang aja lagi. Nanti waktu sunrise di Bromo kita foto pake kamera hp Lo aja.”


“Iya, Daf. Eh, tapi Gue paling seneng tuh pas kita dihujani air yang terjun dari atas tebing saat kita melintas di bawah air terjun. Segerr banget! Kalau Lo gimana?”


“Gue juga suka banget, Al. Rasanya pengen ngulangin lagi, deh. Next holiday kita kesana lagi, yuk!”


“Boleh. Tapi jangan kesitu lagi, ah. Kita rafting di tempat lain aja. Nanti kita browsing lagi, deh, tempat yang recommended buat rafting.”


“Oke. Hmm puas banget Gue 3,5 jam teriak. Huh, plong rasanya” gumam Dafina 


“Mas, ini kita langsung ke hotel, ‘kan?” tanya Alesha pada Rio, melihat hari sudah mulai gelap.


“Iya, Mbak. Setelah ini kita langsung ke hotel di daerah Cemoro Lawang. Free time. Besok jam tiga pagi harus sudah siap, kita jalan jam 03.15 dini hari ke Penanjakan 1, mbak.” Jawab Rio.


“Oke, Mas. Makasih, ya.”


“Kalau mas Rio, menginap di hotel juga?” tanya Dafina.


‘Ngapain Dafina nanya-nanya kayak gitu?’ batin Alesha. Namun ia diam saja.


“Nggak, Mbak. Saya pulang ke rumah. Gak jauh kok dari situ.”


“Ohh…”


Sesampainya di hotel, setelah mengantarkan Alesha dan Dafina check-in Rio pamit pulang.


“Daf, ngapain Lo nanya-nanya si Rio nginep disini apa nggak? Lo naksir?”


“Apaan sih, Lo! Gue nanya doank keles,” Dafina menjawab ketus


“Yee ni anak. Gitu doank ngambek.”


***


 Alesha terbangun ketika ketukan di pintu kamarnya sudah berubah menjadi gedoran yang cukup keras. Ia terkejut, terbelalak melihat jam dinding. Pukul 03.25. Wah, telat!


“Daf! Dafina! Bangun! Kita udah telat nih. Nanti gak kebagian sunrise-nya lho.” Alesha menggoyangkan tubuh sahabatnya itu dengan keras. Sementara yang dibangunkan hanya mengucek-ngucek mata.


Alesha membuka pintu kamar hotel. Tampak olehnya Rio yang sudah rapi sedang berdiri di depan pintu.


“Duh, maaf, Mas. Sudah lama, ya, disini? Sebentar ya, Mas. Kami siap-siap dulu.” Tergugup Alesha meminta maaf karena terlambat bangun.


“Iya, gapapa, Mbak. Saya tunggu di lobi, ya. Lima menit. Cukup, kan? Karena kalau kesiangan nanti gak dapet moment sunrise-nya, Mbak.”


“Iya, Mas. Lima menit. Makasih.”


Alesha bergegas menutup pintu dan terpekik karena Dafina belum juga bangun. Buru-buru ia menarik tubuh sahabatnya itu dan menyeretnya ke kamar mandi.


“Ih, apaan sih, Al. Alus dikit, napa. Kasar banget sih!” Dafina berontak.


“Cepetan, Daf. Kita Cuma punya waktu lima menit buat siap-siap. Udah telat banget nih. Udah setengah empat. Ayoo buruan!” Alesha berseru sembari menggosok giginya yang dilanjutkan dengan mencuci mukanya.


“Iya, bawel ah, Lo.”


Alesha buru-buru menutup pintu kamarnya dan setengah berlari menuju lift. Dia tampak amat gelisah sementara Dafina terlihat lebih santai.


“Lo kenapa sih, Al. Santai aja kali. Gak usah hectic gitu. Panikan amat jadi orang.” Dafina bergumam begitu pintu lift tertutup.


“Ya, elah, Daf! Elo sih di kamar mandinya lama. Kita telat banget nih. Ini udah setengah empat lewat 10 menit, tau!”


“Santai, kali, Al. Matahari terbit itu kan jam 5. Sekarang masih setengah 4, ‘kan? Masih lama, kok.”


“Ya, ‘kan perjalanannya gimana? Itu juga musti Elo perhitungkan, kali.”


“Iya, iya. Sorry. Ya wajarlah, Al. kita ‘kan capek habis perjalanan seharian kemarin, habis rafting juga. Wajar donk kita susah bangun pagi.”


“Ya udahlah, tuh mas Rio udah nungguin.” Alesha menunjuk mobil yang menunggu di depan pintu keluar sembari berjalan keluar dari lift.


“Maaf ya, Mas. Kita kelamaan.” Ujar Alesha kepada Rio yang telah lama menunggu.


“Gapapa, Mbak. Kita jalan sekarang, ya.”


Mereka menaiki mobil jeep menyusuri jalan dengan pemandangan lereng gunung bromo yang indah. Lokasi Penanjakan 1 masih dalam lingkungan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TN-BTS) Jawa Timur. Penanjakan 1 yang merupakan spot sunrise Bromo ini berada di ketinggian 2.770 di atas permukaan laut. Ini merupakan spot utama untuk menikmati keindahan  sunrise.


Setelah sampai di parkiran jeep, Alesha dan Dafina turun. Mereka berjalan kaki bersama wisatawan lain menuju tangga ke penanjakan 1. Setelah sekitar lima belas menit menanjak, sampailah mereka di Penanjakan 1. Semburat oranye mulai terlihat sedikit demi sedikit. Aah, indahnya.


“Daf, foto disitu, yuk! Cakep banget tuh, background-nya Gunung Batok, Gunung Bromo sama Gunung Semeru.”


“Yuk!”

source: katalogwisata.com
Cekrek.cekrek. Mereka berdua benar-benar menikmati keindahan ciptaan Tuhan yang satu ini. Hawa dingin yang menusuk tulang seakan tiada lagi terasa. Setelah cukup puas berfoto, mereka turun ke parkiran jeep dan melanjutkan perjalanan ke Gunung Bromo. 

Jeep berjalan membelah lautan pasir Kaldera. Ada juga yang menyebut dengan Pasir Berbisik. Indah sekali. Seperti di gurun pasir. Kedua dara itu sempat turun di lautan pasir untuk berswafoto disana. Lanjut menaiki 250-an anak tangga untuk menuju puncak Gunung Bromo.


“Al! cobain naik kuda, yuk.” Seru Dafina.


“Oke. Hayuk!”


Mereka menunggang kuda menuju anak tangga di Gunung Bromo. Dafina sempat hampir terjatuh karena kurang keseimbangan. 


Setelah kurang lebih 10 menit mereka menaiki anak tangga, sampailah mereka di puncak Bromo. Wangi belerang tercium sangat kuat. Hamparan warna biru terlihat di kejauhan kawah Bromo. Alangkah indahnya.


“Al, hati-hati.” Seru Dafina menarik tangan Alesha yang hampir terpeleset di bibir kawah.


“Iya, Daf. Duh, kaget Gue.”


“Untung Lo gak apa-apa. Ya udah yuk, kita turun.” Ajak Dafina.


“Sebentar lagi, deh. Gue belum puas.”


Alesha yang cinta pegunungan amat menikmati trip mereka kali ini. Dihirupnya dalam-dalam udara Gunung Bromo ini untuk lebih merasakan sensasinya. Dipandanginya secara mendalam hamparan pesona yang tak ada saingannya ini. Begitu menakjubkan.



Dear, Tuhan
Hijaunya hamparan hutan dan pepohonan di bawah sana begitu kerdil
Tak sebanding dengan agungnya dzat-Mu
Dear, Tuhan
Birunya hamparan belerang di bawah sana begitu luas
Tetap tak seluas kuasa-Mu
Dear, Tuhan
Kuningnya hamparan pasir di lautan kaldera sungguh memukau, berbisik
Senandungkan dzikir pada-Mu

Dear, Tuhan
Seluas bumi ini
Begitu kerdil di hadapan-Mu
Ampuni kami,
Yang masih saja congkak
Ampuni kami,
Yang masih saja lalai

Rahmat-Mu, tiada terkira
Inayah-Mu, tiada terbendung
Maghfirah-Mu, tiada terduga
Kumohon itu.



Alesha Larasati
 Puncak Bromo, 17 September 2017


source: wisatagunungbromo.com

Alesha duduk di tepi kawah sembari menuliskan sebuah puisi di buku notes-nya. Kembali menghirup nafas dalam-dalam, dihembuskan perlahan-lahan. Kemudian ia bangkit menghampiri Dafina yang telah menunggunya di samping tangga. Mereka tersenyum lega dan bahagia, menuruni anak tangga.


***


Silakan tuliskan penilaian teman-teman mengenai cerpen ini, ya. Diterima dengan tangan terbuka. Terima kasih